SEJARAH PENDIDIKAN BAHASA ARAB DI MELAYU INDONESIA
OLEH AAT SHOIM WIJAYA
BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara
tentang bahasa Arab dalam konteks sejarah tidak bisa lepas dari perjalanan
penyebaran agama Islam. Begitu pula sebaliknya, mengkaji tentang Islam berarti
pula mempelajari bahasa Arab sebagai syarat wajib untuk menguasai isi kandungan
al-Qur'an dan al-Hadis sebagai sumber utama agama Islam. Sejarah mencatat bahwa bahasa Arab mulai menyebar ke luar jazirah Arabia sejak abad ke-1 H atau abad
ke-7 M. Penyebaran itu meliputi wilayah Byzantium di utara, Persia di timur,
dan Afrika sampai Andalusia di barat. Hingga pada masa khilafah Islamiyah,
bahasa Arab menjadi bahasa resmi yang dipergunakan untuk sosialisasi agama,
budaya, administrasi, dan ilmu pengetahuan. Posisi strategis yang dimiliki
bahasa Arab ini mengungguli semua bahasa yang pernah ada sebelumnya, seperti
bahasa Yunani, Persia, Koptik dan Syria.
Sampai saat ini Bahasa Indonesia (termasuk Melayu) menyerap sangat banyak bahasa Arab ke dalam perbendaharaannya. Begitu banyak kata yang sumbernya dari bahasa Arab, bahkan bisa dikatakan bahwa unsur serapan dari bahasa arab termasuk paling dominan dalam bahasa Indonesia. Sejarah perkembangan bahasa Melayu pada jaman sebelum kemerdekaan misalnya dapat dijadikan contoh. Awalnya, bahasa Melayu hanya dikuasai oleh kelompok masyarakat Melayu sendiri. Oleh karena bahasa Melayu digunakan terus-menerus oleh mereka dalam kegiatan perdagangan pada waktu itu, maka secara perlahan-lahan orang-orang yang turut terlibat dalam kegiatan itu dapat memahami dan akhirnya menguasai bahasa Malayu. Bahasa Melayu kemudian tidak hanya menjadi milik etnis Melayu, tetapi hampir seluruh nusantara telah menguasainya.[1]
Sampai saat ini Bahasa Indonesia (termasuk Melayu) menyerap sangat banyak bahasa Arab ke dalam perbendaharaannya. Begitu banyak kata yang sumbernya dari bahasa Arab, bahkan bisa dikatakan bahwa unsur serapan dari bahasa arab termasuk paling dominan dalam bahasa Indonesia. Sejarah perkembangan bahasa Melayu pada jaman sebelum kemerdekaan misalnya dapat dijadikan contoh. Awalnya, bahasa Melayu hanya dikuasai oleh kelompok masyarakat Melayu sendiri. Oleh karena bahasa Melayu digunakan terus-menerus oleh mereka dalam kegiatan perdagangan pada waktu itu, maka secara perlahan-lahan orang-orang yang turut terlibat dalam kegiatan itu dapat memahami dan akhirnya menguasai bahasa Malayu. Bahasa Melayu kemudian tidak hanya menjadi milik etnis Melayu, tetapi hampir seluruh nusantara telah menguasainya.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah singkat tentang suku melayu
Suku
Melayu adalah nama yang menunjuk pada suatu kelompok yang ciri utamanya adalah
penuturan bahasa Melayu. Suku Melayu bermukim di sebagian besar Malaysia,
pesisir timur Sumatera, sekeliling pesisir Kalimantan, Thailand Selatan, serta
pulau-pulau kecil yang terbentang sepanjang Selat Malaka. Di Indonesia, jumlah
suku Melayu sekitar 15% dari seluruh populasi, yang sebagian besar mendiami
propinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka
Belitung dan Kalimantan Barat.
Meskipun
begitu, banyak pula masyarakat Minangkabau, Mandailing, dan Dayak yang
berpindah ke wilayah pesisir timur Sumatra dan pantai barat Kalimantan, mengaku
sebagai orang Melayu. Selain di Nusantara, suku Melayu juga terdapat di Sri
Lanka, Kepulauan Cocos (Keeling) (Cocos Malays), dan Afrika Selatan (Cape
Malays).
Pada awalnya nama melayu berawal dari kerajaan Malayu yg pernah ada di kawasan sungai batang hari.
Pada awalnya nama melayu berawal dari kerajaan Malayu yg pernah ada di kawasan sungai batang hari.
Dalam
perkembangannya, Kerajaan Melayu akhirnya takluk dan menjadi bawahan Kerajaan
Sriwijaya Pemakaian istilah Melayu-pun meluas hingga ke luar Sumatera,
mengikuti teritorial imperium Sriwijaya yang berkembang hingga ke Jawa,
Kalimantan, dan Semenanjung Malaya. Jadi orang Melayu Semenanjung berasal dari
Sumatera. Berdasarkan prasasti Keping Tembaga Laguna, pedagang Melayu telah
berdagang ke seluruh wilayah Asia Tenggara, juga turut serta membawa adat
budaya dan Bahasa Melayu pada kawasan tersebut. Bahasa Melayu akhirnya menjadi
lingua franca menggantikan Bahasa Sanskerta.
Era
kejayaan Sriwijaya merupakan masa emas bagi peradaban Melayu, termasuk pada
masa wangsa Sailendra di Jawa, kemudian dilanjutkan oleh kerajaan Dharmasraya
sampai pada abad ke-14, dan terus berkembang pada masa Kesultanan Malaka
sebelum kerajaan ini ditaklukan oleh kekuatan tentara Portugis pada tahun 1511
Masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-12, diserap baik-baik oleh masyarakat Melayu. Islamisasi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat jelata, namun telah menjadi corak pemerintahan kerajaan-kerajaan Melayu.
Masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-12, diserap baik-baik oleh masyarakat Melayu. Islamisasi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat jelata, namun telah menjadi corak pemerintahan kerajaan-kerajaan Melayu.
Di
antara kerajaan-kerajaan tersebut ialah Kesultanan Johor, Kesultanan Perak,
Kesultanan Pahang, Kesultanan Brunei, dan Kesultanan Siak. Kedatangan
kolonialis Eropa telah menyebabkan terdiasporanya orang-orang Melayu ke seluruh
Nusantara, Sri Lanka dan Afrika Selatan. Di perantauan, mereka banyak mengisi pos-pos kerajaan
seperti menjadi syahbandar, ulama, dan hakim.
Dalam
perkembangan selanjutnya, hampir seluruh Kepulauan Nusantara mendapatkan
pengaruh langsung dari Suku Melayu. Bahasa Melayu yang telah berkembang dan
dipakai oleh banyak masyarakat Nusantara, akhirnya dipilih menjadi bahasa
nasional Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.[2]
B.
Sejarah Pengaruh Bahasa Arab Di Melayu
Masa sejak awal
abad ke-13 sampai pengujung abad ke-15 Masehi dalam kasusastraan melayu disebut
masa peralihan, yaitu masa peralihan peradaban hindu ke peradaban islam, orang
melayu mulai mengenal tradisi tulis. Sebelumnya mereka hanya mengenal tradisi
lisan dalam kesusastraan.
Pada dekade akhir
abad ke-13 Masehi, pengaruh bahasa sansekerta berangsur surut di bumi melayu.
Pengaruh tersebut mengalami masa surut semenjak meredupnya pengaruh sriwijaya
di pulau sumatera. Lambat laun pengaruh sansekerta kian lemah sampai akhirnya
kalah oleh pengaruh bahasa arab, yang mulai merebak pada awal-awal abad ke-14
Masehi.
Masuknya agama
islam ke bumi melayu pada abad 13 Masehi membuka jalan bagi masuknya pengaruh
bahasa arab kedalam bahasa melau. Menurut Collins, pengaruh bahasa arab ini
mulai terasa diserabnya unsur-unsur leksikal dari bahasa arab kedalam bahasa
melayu masih berasal dari abad ke-13 Masehi ini.
Abad ke-14 Masehi
merupakan pergulatan bagi dua perdaban besar yang hadir di bumi Melayu.
Pengaruh islam mulai menyusup dan membawa serta bahasa Arab, pada waktu itu
pengaruh hindu masih bisa bertahan selama hampir satu setengah abad kemudian.
Sayangnya, tidak banyak bukti baik prasasti maupun manuskrip yang menyatakan
tentang keadaan kebahasaan sansekerta pada masa pergulatan ini sehingga
pengaruh bahasa sansekerta kian hari kian melemah.
Meskipun demikian,
masa ini disebut masa peralihan. Sebab, pada abad ke-15 Masehi, kerajaan melayu
di Malaka telah masuk islam. Dalam perkembanganya, kerajaan melayu ini berperan
sebagai pusat penyebaran islam. Selain kerajaan Malaka, kerajaan Pasai di Aceh
juga masuk Islam, sehingga kedua kerajaan ini bahu membahu menyebarkan islam
keseluruh nusantara.
Demikian sejarah telah membawa literasi Arab ke bumi Melayu
yang melahirkan tulisan Jawi (Arab-melayu atau Arab Pegon). Pengaruh bahasa
arab terhadap bahasa melayu belangsung secara bertahap, awalnya pengaruh itu
lemah tapi seiring dengan menguatnya agama islam lambat laun menjadi semakin
kuat, hinga menggeser dominasi bahasa sansekerta dan ahirya memarjinalisasi
pengaruh dari bahasa yang dibawa oleh peradaban Hindu itu.[3] Dulunya,
huruf Arab Melayu atau Jawi menjadi bahasa yang universal di Nusantara.
Surat-surat raja-raja Nusantara ditulis dalam huruf Arab Melayu (Jawi).
Sebagian besar karya sastra nusantara seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat
Raja-raja Pasai dan lainnya ditulis dalam huruf Jawi. Cap atau stempel kerajaan
pun ditulis ke dalam huruf Jawi. Mata uang di awal-awal penjajahan yang
diterbitkan VOC pun juga menggunakan huruf Jawi.
C.
Sistem Pendidikan di Melayu
Sistem pendidikan tertua di tanah melayu
dinamakan Surau, istilah surau ini hanya berkembang di wilayah Melayu, seperti
Minangkabau, Malaysia, Patani (Thailand), Brunai Darussalam, Morro (Philipina),
Singapura dan sebagainya. Pertumbuhan surau pada periode awal ( abad ke 17 M di
Minangkabau) Fungsi surau sekarang sudah semangkin sempit, hanya sebagai tempat
shalat, belajar mengaji dan mendengarkan ceramah agama.
Pada
awalnya surau merupakan tempat mengajar anak-anak dan para remaja untuk
memperoleh pengetahuan dasar keagamaan. Surau sebagai lembaga pendidikan Islam
pertama kali didirikan oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. (Samsul
Nizar,2005:71) Syekh Burhanuddin mendirikan surau bukan hanya untuk tempat
shalat saja, tetapi juga untuk mengajarkan Al-Qur'an, Hadis, Tarikat Satariyah.
Syekh Burhanuddin terkenal dengan ilmunya yang dalam dan bijaksana dalam
menyampaikan agama kepada masyarakat. Syekh Burhanuddin memperioritaskan
pendidikan agama terhadap anak-anak, karena generasi ini dianggap berpotensi
untuk dikembangkan.
Selanjutnya
surau semakin berkembang di Minangkabau. Di samping fungsinya sebagai tempat
beribadah (shalat), tempat mengajarkan Al-Qur'an dan Hadis serta ilmu lainnya,
juga sebagai tempat musyawarah, tempat mengajarkan adat, sopan santun, ilmu
beladiri (silat Minang) dan juga sebagai tempat tidur bagi pemuda yang mulai
remaja dan bagi laki-laki tua yang sudah bercerai. Dalam perkembangan
selanjutnya surau juga tempat singgah bagi para perantau. ( Abuddin Nata,
2001:8; Christine Dobbin, 1992:142. Ini barangkali sudah merupakan aturan yang
berlaku di Minangkabau, karena di rumah orang tuanya tidak disiapkan kamar
untuk anak laki-laki remaja atau duda, maka mereka bermalam di surau. Hal ini
secara alamiah menjadi sangat penting, karena dapat membentuk watak bagi
generasi muda Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan
maupun ketrampilan praktis.
Syekh
Burhanuddin mengembangkan ajaran Islam dengan metode keteladanan dengan secara
lemah lembut, persuasif, melalui pendekatan socio-cultural, tidak dengan
kekerasan. Hal ini Surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan.
Disamping dengan metode keteladanan dalam metode pembelajaranya Syech Burhanudin
dalam mengajar menggunakan metode sorogan, Halaqoh, ceramah dan Hafalan.
Surau sebagai
lembaga pendidikan islam yang mengalami kemajuan ada dua jenjang pendidikan surau pada masa itu.
Untuk
mempelajari Al-Qur'an ada dua macam tingkatan.
a). Pendidikan Rendah
a). Pendidikan Rendah
Yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf
al-Qur'an dan membaca al-Qur'an. Di samping itu, juga dipelajari cara berwudhu
dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktek dan menghafal,
keimanan terutama sifat dua puluh dengan metode menghafal melalui lagu, dan
akhlak yang dilakukan dengan metode cerita tentang nabi dan orang-orang shaleh lainnya.
b). Pendidikan Atas
b). Pendidikan Atas
Yaitu
pendidikan membaca Al-Qur'an dengan lagu, Qasidah, bezanji, tajwid, dan kitab Parukunan.
Lama
pendidikan pada masing-masing jenjang tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa
bisa melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi apabila dia bisa menguasai
materi-materi yang diajarkan pada tingkat pertama dengan baik. Bahkan
adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan mempelajari al-Qur'an sebanyak
dua atau tiga kali baru ia berhenti dari pengajian Al-Qur'an.
Setelah
menamatkan kedua jenis pendidikan di atas, kemudian siswa diperkenalkan ke
jenjang pendidikan selanjutnya, yaitu pengajian kitab. Materi pendidikan pada
jenjang ini meliputi: ilmu sharaf dan nahwu, ilmu fiqh, ilmu tafsir dan
ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab
dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan
maksudnya. Penekanan pengajaran pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan.
Agar siswa cepat hafal, maka metode mengajarnya dilakukan melalui cara melafalkan
materi dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pendidikan untuk jenjang
pendidikan ini biasanya dilakukan pada siang dan malam hari. ( Samsul Nizar, 2005:73-74) Referensi yang dipakai oleh para
guru, pada mulanya mengacu pada kitab tertentu. Setelah para ulama Minangkabau
kembali dari Timur Tengah baru berbagai referensi digunakan. Hal ini disebabkan
karena pada tahap awal, susah mendapatkan kitab-kitab Arab tersebut, baru
setelah para ulama kembali dari Timur Tengah mereka membawa kitab-kitab dari Arab,
Mesir dan Sebagainya.[4]
D.
Peninggalan-Peninggalan Bangsa Melayu
1.
Prasasti Trengganu
Sebuah prasasti
tertua yang menggunakan tulisan jawi
(Arab Melayu) ini bahkan berasal dari tahun 1303 Masehi. Prasasti Melayu awal
abad 13 ini disebut Prasasti trengganu. Kata-kata arab di prasasti trengganu
cukup Banyak. Bahkan prasasti yang ditemukan di Ulu trengganu (Malaysia). Tulisan ini
menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk Islam pada saat itu. prasasti
ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah dan Arkeolog Islam di Malaysia
seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua menyimpulkan prasasti ini sebagai
yang tertua di Asia Tenggara.
2. Manuskrip
Yang
dimaksud manuskrip adalah tulisan tangan asli yang berumur minimal 50 tahun dan
punya arti penting bagi peradaban, sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Di
Indonesia ada tiga jenis manuskrip Islam. Pertama, manuskrip
berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi yakni, naskah
yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu. Agar sesuai dengan aksen
Melayu diberi beberapa tambahan vonim. Ketiga, manuskrip Pegon
yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah
seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya.
Pada
abad 14, pada tahun 1310, ditemukan syair tentang keislaman yang ditulis dalam
bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. pada massa Kekhalifahan
Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka..
Di Aceh, pada
abad 16–17 terdapat cukup banyak penulis manuskrip. Misalnya, Hamzah Fansuri,
yang dikenal sebagai tokoh sufi ternama pada masanya. Kemudian ada Syekh
Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu ‘Ali ibnu Hasanji ibnu
Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia dikenal sebagai ulama yang juga
bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh
pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Salah satu karyanya yang terkenal
berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan
sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di Kesultanan Aceh selama periode empat
orang ratu, juga banyak menulis naskah-naskah keislaman. Karya-karya mereka
tidak hanya berkembang di Aceh, tapi juga berkembang seluruh Sumatera,
Semenanjung Malaka sampai ke Thailand Selatan. Karya-karya mereka juga
mempengaruhi pemikiran dan awal peradaban Islam di Pulau Jawa, Sulawesi,
Kalimantan, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, Buton hingga Papua. Sehingga di
daerah itu juga terdapat peninggalan karya ulama Aceh ini. Perkembangan
selanjutnya, memunculkan karya keislaman di daerah lain seperti, Kitab Sabilal
Muhtadin karya Syekh al Banjari di Banjarmasin. Di Palembang juga ada. Di
Banten ada Syekh al Bantani yang juga menulis banyak manuskrip. Semua manuskrip
ini menjadi rujukan umat dan penguasa saat itu.
Manuskrip
dengan huruf Jawi dan bahasa Melayu yang ada di Perpustakaan Nasional Jakarta
hanya sekitar 1.000 naskah. Yang lainnya, yang menggunakan huruf Arab atau
bahasa Arab jumlahnya lebih sedikit. Sementara di Belanda, manuskrip Islam asal
Indonesia yang ditulis dengan bahasa Jawi
mencapai lebih dari 5.000 naskah. Belum lagi manuskrip yang ditulis
dengan huruf Pegon atau huruf Arab Melayu dan bahasa Arab, jumlahnya jauh lebih
banyak. Mereka melakukan pengumpulan kemudian diangkut ke Belanda dari seluruh
daerah di Indonesia. Seorang peneliti ke
Leiden tahun 2006 dan melihat karya asli Sunan Bonang, ar Raniri, Hikayat Aceh,
Hikayat Melayu, Babat Tana Jawi dan lainnya. Di Indonesia hanya ada kopiannya
saja.[6]
Kini
manuskrip-manuskrip karya ulama nusantara Sebagian besar berada di Belanda, tepatnya di Universitas Leiden.
Pada masa VOC dan penjajahan Belanda, mereka melakukan pengumpulan, kemudian
melakukan pencurian dan penjarahan terhadap manuskrip-manuskrip Islam klasik
untuk kepentingan mereka. Di antaranya, untuk melanggengkan penjajahan dan
menghilangkan jejak peradaban Islam dari sumbernya aslinya di Timur Tengah.
Dengan dirampasnya karya-karya para ulama, umat Islam di Nusantara menjadi
kehilangan sumber otentik perkembangan Islam. Inilah yang menyebabkan
penjajahan berlangsung hingga ratusan tahun.
3. Kitab Parukunan
Kitab parukunan
merupakan sebuak kitab yang populer di kalangan masyarakat melayu. Kitab
parukunan ini tidak hanya di pelajari tetapi menjadi rujukan utama dalam
melaksanakan ibadah sehari-hari. Salah satu
kitab perukunan yang terkenal adalah “ Perukunan
Jamaluddin”. Kitab ini pertama kali diterbitkan oleh Mathba‘ah al-Miriyah
al-Kainah, Mekkah, pada tahun 1315 H/1897 M. Selanjutnya diterbitkan di
Singapura pada tahun 1318 H. Setelah itu diulang cetak di Bombay,
Thailand, Indonesia dan Malaysia hingga sekarang. Meski kitab ini tampak
sederhana tetapi merupakan salah satu yang paling popular di antara kitab-kitab
sejenis, dan sering diulang cetak. Selain di Indonesia, kitab ini juga
dipelajari kaum muslim di Malaysia, Philipina, Vietnam, Kamboja, dan Myammar.
Para peneliti berbeda pendapat mengenai
penyusun sebenarya bagi Kitab Perukunan. Terdapat dua nama yang biasa dikaitkan
dengan kitab Perukunan ini, yaitu Syaikhah Fatimah binti Syaikh Abdul Wahab
Bugis dan Syaikh Jamaluddin bin Syaikh Muhammad Arsyad.
Syaikhah
Fatimah merupakan cucu perempuan pertama
Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari melalui anak perempuan yang bernama
Syarifah, yang menikah dengan Syaikh Abdul Wahab Bugis. Syaikah Fatimah
menguasai berbagai ilmu-ilmu keislaman yang dipelajari dari ayah dan datuknya.
Beliau mahir dalam bidang ilmu bahasa Arab, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits,
Ushuluddin dan Fikih.. Beliau kemudian bersama-sama dengan saudara seibunya
Muhammad As’ad dengan tekun dan gigih menyebarkan ilmu mereka kepada masyarakar
Banjar. Mereka berdua dikenali sebagai “bunga ilmu” tanah Banjar.
Menurut riwayat, jika Muhammad As’ad menjadi guru bagi kaum lelaki, maka
Fatimah pula menjadi seorang guru bagi kaum perempuan yang ingin belajar ilmu
agama pada zamannya.al-Banjari. Sedangkan Syaikh
Jamaluddin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang lahir pada tahun 1870M ini memang
seorang ulama yang paling terkemuka di Kalimantan Selatan pada zamannya. Dengan
“nama besarnya” itu adalah suatu yang dilihat wajar, jika Kitab Perukunan yang
sangat popular ini dianggap sebagai karya Syaikh Jamaluddin.
Selain pendapat di atas, terdapat juga maklumat
lain yang menyatakan bahawa perukunan yang dikenali juga sebagai Perukunan
Besar dan Perukunan Melayu ini merupakan
karya saudara perempuan Syaikh Jamaluddin, yang bernama Syarifah, iaitu ibu
kepada Syaikah Fatimah. Namun, sebagaimana yang ditegaskan oleh Prof Martin van
Bruinessen dalam tulisannya ‘Kitab kuning dan Perempuan, Perempuan dan Kitab
Kuning; “Pada umumnya tutur lisan masyarakat Banjar menyatakan bahwa
kitab “Perukunan Jamaluddin“ ini merupakan karya Syaikhah Fatimah, Cucu Syaikh
Arsyad al-Banjari dan anak saudara perempuan Syaikh Jamaluddin sendiri ”.
Mengapa Kitab
Perukunan yang popular itu diatasnamakan Jamaluddin jika pengarangnya Fatimah ?
Menurut Prof. Martin, identiti pengarang yang sebenarnya tampaknya dengan
sengaja disembunyikan sesuai dengan anggapan yang sudah mapan saat itu bahawa
menulis kitab adalah “pekerjaan” yang khusus untuk laki-laki. Lebih jauh,
demikian sambung guru besar studi Islam dari Belanda ini, kalau sejarah digali,
tidak mustahil kita akan menemui perempuan lain yang menguasai ilmu-ilmu agama
dan telah menulis kitab namun sumbangan mereka ternyata diingkari dan diboikot.[7]
4. Aksara
Jawi/Arab Melayu
Arab melayu adalah bahasa Indonesia atau
Melayu yang penulisannya di adaptasi dari aksara Arab yang disesuaikan
sesuai kaidah penulisan huruf Arab.Contoh Tulisan Arab Jawi/Melayu :
دكات دوري ديسا ڨواكـ
dekat Duri Desa Puak
سبله اوترا كوتا كنديس
sebelah utara Kota Kandis
بڽكـ اهلي برتمبه بوتكـ
banyak ahli bertambah botak
ميڠيڠت ميڽكـ سوداه هابيس
mengingat minyak sudah habis
Arab melayu berkembang di wilayah yang memiliki
budaya melayu, seperti di seluruh daerah di pulau Sumatra terutama yang dahulu
pernah berdiri kerajaan kerajaan Islam. Aksara ini dikenal sejak jaman Kerajaan
Samudera Pasai dan Kerajaan Malaka.[8] Masyarakat
Melayu merasa tulisan tersebut telah menjadi milik dan identitasnya. Awalnya
tulisan ini disampaikan melalui media dakwah dalam penyeberan agama islam di
semenanjung Melayu.[9]
Kini
dengan adanya Visi
Riau 2020 yang menjadikan Riau sebagai pusat
kebudayaan Melayu di Asia Tenggara, sebagian besar masyarakat kembali
mempelajari dan melestarikan tulisan Arab Melayu (Jawi). Hampir sebagian besar
nama-nama jalan di Riau dan kabupaten/kota ditulis dengan huruf Arab Melayu.[10]
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari berbagai keterangan yang telah
di uraikan di atas ada beberapa kesimpulan yang bisa di ambil, bahwa sejarah
bahasa arab di tanaah melayu memiliki beberapa faktor yang melatar belakangi
tersebarnya bahasa arab di tanah melayu:
a.
Tanah
melayu meliputi beberapa daerah di asia tenggara yaitu Malaysia, Brunei
Darussalam, Thailand. Di Indonesia, jumlah suku
Melayu sekitar 15% dari seluruh populasi, yang sebagian besar mendiami propinsi
Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka
Belitung di Kalimantan Barat
b.
Proses
masuknya bahasa Arab di Melayu melalui
beberapa tahap,yaitu mulai Abad 13-15 Masa perahlihan agama hindu ke Islam.
c.
Pada
abad 15 penggunaan bahasa Arab berkembang pesat setelah kerajaan Malaka/
Samudera pasai masuk islam. Pada masa ini surat menyurat dan stempel telah menggunakan
tulisan Arab melayu. Bahkan mata uang pada zaman VOC juga menggunakan bahasa
arab melayu.
d.
Sistem
pendidikan di melayu pada zaman dulu menggunakan sistem surau, di indonesia
pertama kali berada di Pariaman yang didirikan oleh Syech Burhanudin. Pelajaran
yang diajarkan adalah Al-Qur’an dengan lagu, Al-Hadis, tata cara shala, Akhlaq,
berzanji, dan kitab Parukunan.
e.
Setelah
ulama-ulama kembali dari timur tengah materi pelajaran di surau mulai
menggunakan kitab berbahasa Arab karya ulama mesir dan ulama timur tengah
lainya.
f.
Ada
beberapa peninggalan dari bangsa melayu yaitu prasasti trengganu, manuskrip-manuskrip
dan kitab Parukunan yang sampai sekarang masih di ajarkan.
B.
PENUTUP
Sekian makalah
ini, apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun pemilihan bahasa mohon
bantuan untuk merevisinya. Terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar