MENGENAL TAFSIR AL-QURAN MODERN: AL-MANAAR (Pengarang: Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho)
Oleh :Aat Shoim Wijaya
KONSENTRASI PENDDIKAN BAHASA ARAB
MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar belakang masalah
Perkembangan tafsir selalu mengalami perubahan dalam setiap masa,
baik itu dalam aspek metode ataupun paradigma dalam penafsiran. Sehingga dari
setiap masa mempunyai ciri dan karakteristik tersendiri untuk membedakan satu
dengan yang lainnya. sebut saja, tafsir yang berkembang pada era modern
mempunyai kekhasan tersendiri dari era sebelumnya. Yakni bahwa tafsir era
modern mengalami peralihan dari sumber-sumber lisan menuju sumber-sumber
tertulis. Dalam hal ini yang menjadi sorotan adalah tafsir al-Manar yang
notabene merupakan bibit munculnya tafsir era modern.
Tafsir ini merupakan buah karya dari tokoh revolusioner di Mesir,
yakni Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Yang mana dalam melakukan penafsiran
al-Quran, mereka lebih mengutamakan aspek rasionalitas dan peranan sosial sehingga
tidak hanya bertaqlid buta terhadap penafsiran tokoh-tokoh (mufassir)
sebelumnya. Muhammad Abduh menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa
sebelumnya tidak lain kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling
berbeda, dan pada akhirnya menjauh dari tujuan ditirunkanya al-Quran. [1]
Sebagian dari kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan
kaku, karena penafsiranya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian
kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan
lain menyangkut segi
segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat al-Quran. Oleh karena
itu kitab-litab tafsir tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam
bidang kebahasaan. Bukan kitab tafsir yang sesungguhnya.[2]
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tafsir al-Manar
merupakan bibit dari tafsir modern,
tafsir ini juga menjadi inspirasi ataupun rujukan dalam karya-karya tafsir pada
masa sesudahnya. Oleh karena itu, perlulah kita mempelajari dan membahas
mengenai tafsir al-Manar, sebagaimana yang akan dibahas dalam makalah
ini.
II.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, muncullah beberapa rumusan masalah
sebagai batasan dalam pembahasan makalah ini, diantaranya:
1.
Bagaimanakah
biografi Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha?
2.
Bagaimana
sejarah penulisan kitab tafsir al-Manar?
3.
Bagaiamanakah
metode dalama penulisan tafsir al-Manar?
4.
Bagaimanakah
salah satu contoh penafsiran dalam tafsir al-Manar?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Pengarang Tafsir al-Manar
1.
Syaikh Muhammad Abduh
Syaikh Muhammad Abduh adalah: muhammad bin abduh bin Hasan
Khairulah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir
pada 1849 M. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Namun
demikian ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.[3]
Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan.
Semua saudarannya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali muhammad
abduhyang oleh ayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Pilihan ini
mungkin hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia sangat di cintai ayah
serta ibunya.[4]
Dalam usia 12
tahun ‘Abduh telah hapal al-Qur’an. Kemudian, pada usia 13 tahun ia dibawa ke
Tanta untuk belajar di Mesjid Ahamdi. Mesjid ini sering disebut “Mesjid Syeikh
Ahmad”, yang kedudukannya dianggap sebagai level kedua setelah Al-Azhar dari
segi menghapal dan belajar al-Qur’an. Pelajaran di mesjid Ahmadi ini ia
selesaikan selama 2 tahun. Namun ‘Abduh merasa tak mengerti apa-apa. Tentang
pengalamannya ini ‘Abduh menceritakan: “Satu setengah tahun saya belajar di
mesjid Syeikh Ahmad dengan tak mengerti suatu apapun. Ini adalah karena
metodenya yang salah. Guru-guru mulai mengajak kita untuk menghapal
istilah-istilah tentang nahwu dan fiqh yang tak kita
ketahui artinya, guru tak merasa penting apa kita mengetahui atau tidak
mengerti istilah-istilah itu.[5]
Pada
saat ‘Abduh berumur 16 tahun, tepatnya pada tahun 1865, ‘Abduh menikah dan
bekerja sebagai petani. Namun hal itu hanya berlangsung selama 40 hari. Karena
ia harus pergi ke Tanta untuk belajar kembali. Pamannya ‘Abduh, seorang Syeikh
(guru spiritual) Darwisy Khadr--seorang sufi dari Tarekat Syadzili--telah
membangkitkan kembali semangat belajar dan antusiasme ‘Abduh terhadap ilmu dan
agama. Syeikh ini mengajarkan kepadanya disiplin etika dan moral serta praktek
kezuhudan tarekatnya. Meski ‘Abduh tidak lama bersama Syeikh Darwisy, sepanjang
hidupnya ‘Abduh tetap tertarik kepada kehidupan ruhaniah tasawuf. Namun
kemudian dia jadi kritis terhadap banyak bentuk lahiriah dan ajaran tasawuf,
dan karena kemudian dia memasuki kehidupan Jamaluddin Al-Afghani yang
karismatis itu.
Tahun
1866 ‘Abduh meninggalkan isteri dan keluarganya menuju Kairo untuk belajar di
Al-Azhar. Harapannya itu tak terpenuhi. Ia keluar karena proses belajar yang
berlangsung menonjolkan ilmu dan hapalan luar kepala tanpa pemahaman, seperti
pengalamannya di Tanta. Inilah juga yang melatarbelakangi ‘Abduh ingin
mengadakan pembaruan dalam bidang pendidikan.
Tiga
tahun setelah ‘Abduh di Al-Azhar, Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir. Segera
saja ‘Abduh bergabung bersamanya. Di bawah bimbingan al-Afghani, ‘Abduh mulai
memperluas studinya sampai meliputi filsafat dan ilmu sosial serta politik.
Sekelompok pelajar muda Al-Azhar bergabung bersamanya, termasuk pemimpin Mesir
di kemudian hari, Sa’d Zaghlul. Afghani aktif memberikan dorongan kepada
murid-muridnya ini untuk menghadapi intervensi Eropa di negeri mereka dan
pentingnya melihat umat Islam sebagai umat yang satu.
Abduh menyelesaikan studinya pada tahun 1877,
dan mengajar pertama kali di Al-Azhar. Ia mengajarkan Akhlak karya Ibn Miskawaih, Muqoddimah Ibn Khaldun, dan sejarah kebudayaan Eropa karya
Guizot yang diterjemahkan oleh Tahthawi ke bahasa Arab.[6]
Pada 11
Juli 1905, pada masa puncaknya aktivitas
membina umat, Muhammad abduh meninggal dunia di Kairo Mesir. Yang menangisi
kepergianya bukan hanya umat islam, tetapi ikut pula berduka sekian banyak
tokoh non muslim.[7]
Ada dua
persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran muhammad abduh, sebagaimana
diakuinya sendiri. Kedua persoalan tersebut adalah :
1) Membebaskan
akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat pekembangan
pengetahuan agama sebagaimana halnya Salaf al-Ummah (ulama sebelum abad
ketiga hijriyah), sebelum timbulnya perpecahan; yakni memahami langsung dari
sumber pokoknya, yaitu al-Quran.
2) Memperbaiki
gaya bahasa arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor
pemerintahan, maupun tulisan-tulisan di media masa, penerjemah atau
korespondensi.[8]
Itulah
garis besar lingkungan dan perjalanan hidup Muhammad Abduh yang mengarahkan
pandanganya kepada persoalan-persoalan agama dan masyarakat, khususnya dalam
dua persoalan pokok seperti yang di gambarkan berikut.[9]
a.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir
pada tahun 1865 di al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh
dari kota Tripoli (Suria). Menurut keterangan, ia berasal dari keturunan al-Husain,
cucu Rasulullah. Semasa kecil, ia belajar di sebuah sekolah tradisional di
al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al-Quran. Pada tahun
1882, ia meneruskan pelajaran di al-Madrasah al-Wataniah al-Islamiyyah (Sekolah
Nasional Islam) di Tripoli. Sekolah ini didirikan oleh al-Syaikh Husain
al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern. Di
Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa turki dan Perancis,
dan di samping pengetahuan-pengetahuan agama juga diajarkan pengetahuan modern.[10]
Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama
yang ada di Tripoli. Namun hubungan dengan al-Syaikh Hussein al-Jisr berjalan
terus dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya
ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh
melalui majalah al-Urwah
al-Wutsqa. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan
al-Afghani di Istambul, tetapi niat itu tidak terwujud. Sewaktu Muhammad Abduh
berada dalam pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk berjumpa
dan berdialog dengan murid utama al-Afghani itu. Pemikiran-pemikiran pembaruan
yang diperolehnya dari al-Syaikh Hussain al-Jisr dan yang kemudian diperluas
lagi dengan ide-ide al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh amat mempengaruhi jiwanya.
Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah yang
termasyhur, al-Manar. Di
dalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan al-Manar sama
dengan tujuan al-Urwah
al-Wutsqa, antara lain, mengadakan pembaruan dalam
bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhayyul dan bid’ah-bid’ah yang
masuk ke dalam tubuh Islam, menghilangkan faham fatalisme yang terdapat dalam
kalangan umat Islam, serta faham-faham salah yang dibawa tarekat-tarekat
tasawwuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap
permainan politik negara-negara Barat.
Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan tafsir modern dari
al-Qur’an, yaitu tafsir yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya. Ia
selalu menganjurkan kepada gurunya, Muhammad ‘Abduh, supaya menulis tafsir
modern. Karena selalu didesak, ‘Abduh akhirnya setuju untuk memberikan kuliah
mengenai tafsir al-Qur’an di al-Azhar. Kuliah-kuliah itu dimulai pada tahun
1899. Keterangan-keterangan yang diberikan gurunya oleh Rasyid Ridha dicatat
untuk selanjutnya disusun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia
serahkan selanjutnya kepada guru untuk diperiksa. Setelah mendapat persetujuan
lalu disiarkan dalam al-Manar. Dengan
demikian, akhirnya muncullah apa yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Manar.Muhammad ‘Abduh
sempat memberikan tafsir hanya sampai pada ayat 125 dari surat An-Nisa (Jilid
III dari Tafsir
al-Manar) dan yang selanjutnya adalah tafsiran muridnya
sendiri.
Di dalam majalah al-Manar pun,
Rasyid Ridha menulis dan memuat karya-karya yang menentang pemerintahan absolut
kerajaan Utsmani. Selain itu, tulisan-tulisan yang menentang politik Inggris
dan Perancis untuk membelah-belah dunia Arab di bawah kekuasaan mereka.
Di masa
tua Rasyid Ridha, meskipun kesehatannya telah terganggu, ia tidak mau tinggal
diam dan senantiasa aktif. Akhirnya ia meninggal dunia di bulan Agustus tahun
1935, sekembalinya dari mengantarkan Pangeran Su’ud ke kapal di Suez.[11]
B. Penulisan Tafsir al-Manar
Secara detail pemakalah belum menemukan referensi atau penjelasan
mengenai sebab penulisan Tafsir al-Manar. Yang jelas dari beberapa keterangan didalam buku Tafsir al-Manar
menyebutkan bahwa, pada dasarnya penulisan Tafsir al-Manar bermula dari
gagasan pemikiran dari tiga tokoh pembaharuan dalam Islam. Yaitu Jamaluddin
al-Afgani, Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
Syaikh Muhammad Abduh telah merintis kebangkitan ilmiyah dan
memberikan buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat pada
kesadaran islami, upaya pemahaman sosiologis islam dan pemecahan agama terhadap
problematika kehidupan masa kini. Benih-benih kebangkitan itu sebenarnya
dimulai dengan gerakan Jamaludin al-Afgani, yang kepadanya Muhammad Abduh berguru.
Abduh memberikan mata kuliah tafsir di Universitas al-Azhar dan mendapat
sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Dan Rasyid Ridha adalah murid paling
tekun mempelajari mata kuliah tersebut, paling semangat dan mencatatnya dengan
teliti. Maka dapatlah dikatakan bahwa ia adalah ahli waris tunggal bagi
ilmu-ilmu Syaikh Muhammad Abduh. Buah nyata akal hal ini tampak jelas dalam
tafsirya yang diberi nama Tafsir al-Quran al-Hakim, populer dengan nama Tafsir al-Manar, nisbah kepada majalah al-Manar
yang diterbitkanya.[12]
Tafsir
al-Manar yang
bernama tafsir al-Quran al-Hakim memperkenalkan dirinya sebagai, “kitab
tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan
akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syari’at, serta sunnatullah (hukum
Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi Al-Quran sebagai
petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap waktu dan tempat. Tafsir ini disusun
dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan
teknis sehingga dapat di mengerti oleh orang awam tetap tidak dapat diabaikan
oleh orang-orang khusus (cendekiawan).[13]
Adapun mengenai sistematika penulisan dalam tafsir al-Manar adalah
penulisan secara susunan mushafi. Sebagaimana dapat dilihat bahwa dalam
penafsiran al-Manar dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri
dengan al-Nas. Kemudian, dilanjutkan dengan penjelasan ayat per ayat
yang ada, lalu dikaitkan dengan ayat qur’an lain beserta hadis yang terkait.
Penjelasan yang ada dijabarkan dengan mengemukakan asbabun nuzul, dan keutmaan
ayat-ayat tersebut.
C.
Metode Penafsiran Tafsir Al-Manar
Secara global
dapat dikemukakan bahwa Muhammad Abduh (guru Muhammad Rasyid Ridha).[14] hidup dalam
suatu masyarakat yang tengah disentuh oleh berbagai perkembangan yang ada di
Eropa, dimana masyarakatnya sangat kaku, beku dan menutup pintu ijtihad, hal
ini muncul karena adanya kecenderungan umat yang merasa cukup dengan produk
ulama-ulam terdahulu, sehingga akal mereka beku (jumud), sementara di Eropa
sendiri sedang berkembang biak pola kehidupan yang mendewakan akal.[15] Sehingga
muncul kelompok yang taqlid (mayoritas jumlahnya) dan kelompok tajdid
(minoritas jumlahnya).
Berdasarkan
kondisi di atas, Muhammad Abduh bermaksud dalam setiap penuangan pikirannya
termasuk dalam kitab tafsirnya berkeinginan untuk selalu mengingatkan sekaligus
menyadarkan umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Seruan ini pula yang
mengajak umat kepada fungsionalisasi akal dalam memahami al-Qur’an.
Dengan demikian
suatu hukum ditetapkan berdasarkan suatu kondisi tertentu dan hendaknya kondisi
tersebut dijelaskan. Bila kondisi berubah, ketetapan itu juga dapat berubah.
Melalui terobosannya itu, Abduh berusaha mencapai tujuannya, yakni menjelaskan
hakikat ajaran Islam yang murni, menurut pandangannya, serta menghubungkannya
dengan kehidupan masa kini. Beberapa prinsip penafsiran yang menjadikan
kerangka metodologi Tafsir al-Manarnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, penggunaan
akal secara luas dalam menafsirkan al-Qur’an. Rasionalitas yang dijunjung
tinggi oleh pengarang tafsir ini bertitik tolak dari asumsi bahwa ada masalah
keagamaan yang tidak dapat diyakini, kecuali melalui pembuktian logika,
sebagaimana diakuinya pula bahwa ada masalah keagamaan yang sulit dipahami
akal, tetapi tidak bertentangan dengan akal.[16]
Kedua, dikalangan
ulama tafsir, Abduh dikenal sebagai face maker (peletak dasar)
penafsiran yang bercorak Adabi-Ijtima’i (sastra dan budaya
kemasyarakatan). Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan
keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan.[17]
Secara umum
sebenarnya metode yang dipakai dalam Tafsir al-Manar tidak jauh berbeda
dengan kitab-kitab tafsir yang lain yang menggunakan metode Tahlili.[18]
Namun karena penekanannya terhadap operasionalisasi petunjuk al-Quran dalam
kehidupan umat Islam secara nyata, maka tafsir ini bisa dikatakan berbeda
dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Metode yang dirintis oleh Muhammad Abduh ini
selanjutnya dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Rasyid Ridha, al-Maraghi
dan Amin Khuli.[19]
Pada
dasarnya Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang
digunakan oleh gurunya, Muhammad Abduh. Persamaannya yaitu:
a)
Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan
ayat-ayat yang serasi
b)
Ayat Al-Qur’an bersifat umum
c)
Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
d)
Penggunaan akal secara luas dalam memahami
ayat-ayat Al-Qur’an
e)
Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw.
f)
Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat.[20]
D.
Perbedaan
Antara Muhammad Abduh Dengan Rasyid Ridha
Rasyid Ridha
dalam penafsiranya memiliki sekian banyak perbedaan dengan Syaikh Muhammad
Abduh. Dibawah ini akan dikemukakan perbedaan-perbedaan penafsiran kedua tokoh
diatas, diantara perbedaanya adalah sebagai berikut:
1.
Keluasan pembahasan menyangkut ayat-ayat yang
ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
Dalam
menafsirkan al-Quran, ridha banyak sekali memaparkan hadis-hadis nabi, riwayat
para sahabat dan tabi’in, yang dinilainya shohih. Penilaianya lebih ketat dari
sekian banyak tokoh tafsir dan hadis, dan penilaian tersebut tidak hanya
terbatas pada isi kandungan riwayat,tetapi juga sisi transmisi periwayatya.
2.
Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut
permasalahan yang dibutuhkan masyarakat berupa bidang hukum, bidang
perbandingan agama, bidang sunnatullah, perkembangan ilmu pengetahuan.
3.
Keluasan tentang penafsiran ayat dengan ayat.
Salah satu
pengaruh tafsir ibnu katsir terhadap Muhammad Rasyid adalah usahanya mengikuti
jejak Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan ayat-ayat lainya,
suatu cara penafsiran yang dinilai oleh ulama paling tepat untuk memahami
ayat-ayat al-Qur’an.
4.
Keluasan pembahasan kosa-kata dan ketellitian
susunan redaksi
Dalam banyak
ayat, Rasyid Ridha berusaha untuk menjelaskan pengertian-pengertian yang dapat
ditarik dari susunan suatu redaksi, khususnya yang berbeda dengan redaksi ayat
yang lain yang juga berbicara tentang persoalan yang sama.[21]
E.
Kelebihan dan
kekurangan tafsir Al-Manar
Didalam
literatur yang penulis baca belum ada yang membahas tentang kelemahan dan
kelebihan tafsir al-Manar. Akan tetapi dalam makalah ini pemakalah akan sedikit
menjelasan kelebihan dan kekurangan tafsir al-Manar sesuai dengan pemahaman
dari buku yang pemakalah baca.
Ada beberapa
kelebihan didalam tafsir al-Manar karya syech Muhammad Abduh dan rasyid ridha
yaitu :
1.
Dalam menafsirkan sesuai dengan pemahaman akal secara luas
2.
Orang awam maupun intelektual mudah memahami
penafsiranya
3.
Dalam menafsirkan ayat yang sekiranya aneh,
dijelaskan dengan teori-teori ilmiah dan mudah dipahami oleh orang awam
4.
Penafsiranya menyesuaikan kehidupan masa kini
Adapun
kekurangan kekurangan didalam tafsir al-Manar Adalah Rasyid Ridha
terlalu memperluas jangkauan penafsiran ilmiyah, sehingga terkadang dirasakan
adanya usaha untuk membenar-benarkan suatu teori ilmiyah sekaipun yang belum
mapan, dengan ayat-ayat al-Quran.
Dari keterangan
diatas dapat diketahui sedikit tentang kelemahan dan kelebihan tafsir al-Manar,
yang jelas setiap karya tafsir pasti ada kelebihan dan kekuranganya dikarenakan
adanya perbedaan-perbedaan pemahaman dan latar belakang orang yang menafsirkan al-Quran
(pen)
F.
Contoh
Penafsiran Tafsir Al-Manar
Secara
umum, terdapat masalah-masalah yang tidak kalah penting terkait seputar metode
penafsiran atas Nash al-Qur’ân yang kemudian menjadi adat kebiasaan pada
umumnya, yaitu masalah poligami.[22] Al-Qurân
secara jelas membolehkan untuk melakukan poligami dan al-Quran telah menetapkan
hukum dengan membatasi hanya sampai empat isteri.
Firman
Allah dalam surat al-Nisa ayat 3:
وان خفتم الا تقسطوا فى اليتمى
فانكحواما طا ب لكم من النساء مثنى وثلث وربه, فان خفتم الاتعد لوا فواحدة اوما
ملكت ايمانكم ذالك ادنى الا تعولو
Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita wanita
lain yang kamu senangi dua, tiga dan empat. kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja atau budak yang kamu miliki”
Maksud ayat di atas menurut Muhammad Abduh adalah tentang
perlakuan terhadap anak yatim. Sebagian wali laki-laki, yang bertanggung jawab
mengelola kekayaan anak yatim perempuan, tidak mampu mencegah dirinya dari
ketidakadilan dalam mengelola harta si anak yatim, satu solusi yang dianjurkan
untuk mencegah salah kelola adalah mengawini anak yatim itu. Pada satu sisi al
Qur’ân membatasi jumlahnya sampai empat, disisi lain tanggung jawab ekonomi
untuk menafkahi isteri akan sejajar dengan akses harta perempuan yatim melalui
tanggung jawab manajemen. Namun, kebanyakan pendukung poligami jarang
membicarakan poligami dalam konteks perlakuan yang adil terhadap anak yatim.
Muhammad Abduh juga menjelaskan bahwa ayat ini berkaitan
dengan ayat lain seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a dalam surat al-Nisa’: 127 yang artinya: “Dan kamu mempunyai keinginan
untuk menikahi mereka (anak-anak yatim itu)” maksudnya adanya perasaan di
hati untuk menikahi dengan bekal harta dan kecantikan, maka dilarang untuk
menikah kecuali kalau niatnya betul-betul lurus dari hati.
Ibn Jarir berkata: “Ayat diatas adalah larangan menikah lebih dari empat
karena dikhawatirkan akan hilangnya harta anak yatim. Hal ini terjadi pada
seseorang Quraisy yang mengawini perempuan lebih dari sepuluh maka habislah
harta tadi yang digunakan untuk memberi nafkah bagi isteri-isteri yang lain,
oleh sebab itu dilarang cara semacam ini.”
Abduh berkata: “Ayat di atas menjelaskan tentang jumlah isteri dalam
pembahasan anak yatim dan pelarangan memakan harta mereka. Seandainya kamu
khawatir memakan harta mereka bila mengawininya maka Allah membolehkan nikah
dengan perempuan lain sampai berjumlah empat, tetapi bila tidak sanggup untuk
berlaku adil maka satu saja.”
Izin yang diberikan dalam ayat tersebut mengenai poligami
dibatasi dengan persyaratan, yaitu apabila sang suami itu memiliki akhlak yang
baik, dan secara ekonomis dia mampu untuk memberi nafkah kepada dua isteri atau
lebih secara adil dalam setiap kondisi, serta mampu menghindarkan dari perilaku
yang yang dapat menyulut perpecahanantara kedua isteri tersebut.[23]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al-Manar merupakan karya tafsir
modern yang ditulis oleh Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha. Keduanya
merupakan tokoh revolusioner dari Mesir yang ingin menghapus tradisi taqlid
buta yang terjadi ketika itu. Mereka beranggapan bahwa perlu adanya paradigma
baru (menggunakan rasionalitas) untuk memahami suatu pemahaman, sehingga Islam dapat
mengejar ketinggalan yang terjadi ketika itu.
Pada
mulanya tafsir al-Manar merupakan materi Abduh yang diajarkan di Masjid al-Azhar dan
dicatat oleh muridnya bernama Muhammad Rasyid Ridha, yang kemudian Rasyid Ridha berinisiatif
tulisan-tulisannya itu dijadikan sebuah buku tafsir, karena sebelumnya
tulisannya disebuah majalah tersebar luas dan berpengaruh terhadap
negara-negara Arab. Kemudian semua pengajaran Abduh dicatat oleh muridnya untuk
kemudian dikoreksi kembali oleh Abduh.
Metode yang digunakan dalam tafsir al-Manar adalah
tahlili sebagaimana yang ada pada metode tahlili dalam tafsir-tafsir terdahulu.
Hanya saja al-Manar bukan hanya menitikberatkan pada aspek balaghah
ayat, namun juga mengkaitkan makna ayat dengan kondisi dan persoalan yang ada
pada masyarkat sekarang. Sedangkan corak
tafsir tersebut adalah Adabi-Ijtima’i (sastra dan budaya kemasyarakatan) sebagaimana corak tafsir al-Manar merupakan penggagas dari corak
adabi ijtima’i.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur'an. Jakarta: Lintera Antar
Nusa. 1992.
Baidan Nashruddin, 2000. Rekonstruksi
Ilmu Tafsir, Jakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa.
Fachruddin Faiz, 2002, Hermeneutika
Qur’an, Yogyakarta: Qalam, Cet. Ke-II.
Ignaz Goldziher, 2006.Mazhab Tafsir: Aliran Klasik hingga Modern(Judul
asli:Mazhab al Tafsîr al Islamiy), Yogyakarta: Elsaq.
Kajianbersama.blogspot.com/2012/12/tafsir-al-manar.html
di akses 29/11/13 Jam 12:07
Nasution Harun, 1992.Pembaharuan dalam Islam ,
Jakarta: Bulan Bintang.
Rosihan Anwar, 2001. Samudera Al-Qur’an,
Bandung: CV Pustaka Setia,
Shihab
Quraish, 1994.Studi Kritis Tafsir
al-Manar, Bandung : Pustaka Hidayah.
[2]
Ibid...hlm 22
[3]
Ibid...hlm 11
[4]
Ibid...hlm 12
[8]
Ibid...Hlm 19
[9]
Ibid...Hlm 18
[10] Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam...Hlm. 69
[12] Manna Khallil
al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran (Bogor:PT Pustaka Litera Antar Nusa), Hlm. 511-512
[13]
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar...Hlm...67
[14]
Menurut catatan sejarah Muhammad Rasyid Ridha adalah murid paling
tekun, teliti dan semangat dalam mengikuti
kuliah yang disampaikan oleh Muhammad Abduh. Maka dapatlah dikatakan bahwa ia
adalah pewaris tunggal bagi ilmu-ilmu Muhammad Abduh yang menghasilkan karya
yang menjadi magnum opusnya yakni Tafsir
al-Qur’an al-Hakim yang populer disebut dengan Tafsir al-Manar. Lihat Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an, Jakarta: PT Pustaka Litera
Antarnusa, 2009, hlm. 512.
[15]
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar...Hlm...17
[16]
Rosihan Anwar, Samudera Al-Qur’an, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 260.
[18]
Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Rekonstruksi
Ilmu Tafsir, Jakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 2000, hlm. 69.
[19]
Fachruddin Faiz, Hermeneutika Qur’an,
Yogyakarta: Qalam, Cet. Ke-II, 2002, hlm. 71.
[20]
Keterangan
tersebut hanya tema dari persamaan-persamaan pemikiran Rasyid Ridha dengan
Muhammad Abduh, untuk keterangan dan contoh lebih jelas, lihat Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar...Hlm...70-92
[21] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar...Hlm. 93-108.
[22]
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Aliran Klasik hingga Modern(Judul asli:Mazhab al Tafsîr al Islamiy), (Yogyakarta:
Elsaq, 2006), hlm. 44
[23]
Kajianbersama.blogspot.com/2012/12/tafsir-al-manar.html
di akses 29/11/13 Jam 12:07
Komentar
Posting Komentar