LATAR BELAKANG TIMBULNYA MASALAH ARTI
oleh : Aat Shoim WIjaya
I.
PENDAHULUAN
Semua kenyataan kultural adalah tanda. Kita memang hidup didunia hidup
penuh dengan tanda dan diri kita pun merupakan bagian dari tanda itu sendiri,
tanda-tanda tersebut dimaknai sebaga wujud dalam memahami kehidupan. Melalui
kemampuan akalnya, manusia berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda
sebagai alat untuk mencapai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah berkomunikasi bukan hanya
sebagai adaptasi dengan lingkungan. Komunikasi bukan hanya sebagai prose,
melainkan sebagai pembangkit makna (the generation of meaning). Ketika
kita berkomunikasi dengan orang lain setidaknya orang lain dapat dapat memahami
maksud pesan kita secara tepat.
Masalah timbulnya arti adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
bagian filsafat bahasa dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan.
latar belakang timbulnya masalah arti
dan pengertian dari arti itu sendiri sangatlah beragam. Arti merupakan istilah
yang ambigu dan paling kotroversial dalam teori tentang bahasa maka menyebabkan
kekaburan. Dari permasalah yang telah disebutkan di atas dalam makalah ini
pemakalah akan membahas tentang bahasa dan latar belakang timbulnya masalah
arti, apa saja penyebab-penyebab masalah timbulnya Arti.
II.
DESKRIPSI
A.
Latar
Belakang Timbulnya Masalah Arti
1.
Pengertian
Bahasa
Teori tentang
asal usul bahasa telah lama menjadi objek kajian para ahli, baik kalangan
psikolog, antropolog, filsuf maupun teolog. Kemudian, lahirlah sub-subilmu
filsafat bahasa, sperti fonologi, semantik, gramatika, psikolinguistik,
neurolinguistik, antropolinguistik, sosiolinguistik, sastra, semiotika,
hermeneutika, dan lain lain. Karana sifat ilmu pengetahuan yang selalu
berkembang dan berkaitan antara satu disiplin ilmu yang lain, cabang cabang
ilmu tersebut saling menopang, bahkan sering tumpang tindih wilayah kajianya.
Hal yang membedakan antara berbagai ilmu adalah metodologi dan objek
materialnya.[1]
Sebelum
melanjutkan pembahasan mengenai definisi bahasa itu, ada beberapa batasan mengenai
bahasa yang telah diajukan oleh para ilmuan bahasa. Harimurti memberikan
batasan bahasa sebagai sistem lambang arbitrer yang digunakan suatu masyarakat
untuk bekerjasama berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Batasan ini merupakan
batasan lazim di ungkapkan, baik oleh para ilmuwan bahasa maupun para ilmuwan
yang lainya.[2]
Adapun definisi
bahasa, yaitu:
a.
Sistem
untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan;
b.
Peralatan
yang digunakan untuk menyampaikan konsep real mereka kedalam pikiran prang
lain;
c.
Kesatuan
sistem makna;
d.
Kode
yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara bentuk dan makna;
e.
Ucapan
yang menempati tata bahasa yang telah ditetapkan;
f.
Sistem
tuturan yang dapat dipahami oleh masyarakat linguistik.
Dalam
pengertian populer, bahasa adalah percakapan. Bahasa muncul tatkala bunyi dan
ide tampil bersama dalam sebuah obrolan ataupun wacana. Berbeda dari obrolan
yang sering tidak memiliki arah, wacana (discorse) adalah suatu aktifitas
pembicaraan yang bersifat dialogis yang memiliki kualitas serta komitmen
intelektual untuk memperoleh kebenaran bersama. Berbahasa tidak selalu dalam
bentuk dialog, tetapi bisa saja monolog. Hanya, ketika seseorang berbicara
sendirian, bisa saja pembicaraan itu ditujukan, secara mental, pada orang lain
sebagai “pendengar”, yaitu “diri sendiri” atau bisa jadi kepada figur yang tidak hadir secar nyata, seperti
Tuhan, atau seseorang yang jadir dalam imajinasi.[3]
2.
Latar
belakang masalah timbulnya arti
Latar belakang timbulnya masalah
arti merupakan suatu hal yang amat pelik. Perkembangan sejarah filsafat
selalu diwarnai oleh pertentangan-pertentangan antar ide dari para filsuf.
Salah satu wujud pertentangan itu ialah pertentangan dari para penganut metode
analitika dengan penganut Neo Hegelianisme tentang masalah arti dari
pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh penganut Neo Hegelianisme.[4]
Para filsuf menggunakan bahasa untuk mengungkapkan ide-ide atau
pikiran-pikiran mereka dalam mengajukan metode filosofis. Oleh karena itu,
bahasa dianggap penting untuk diperhatikan demi memahami hasil pemikiran
mereka. Dari sejarah perkembangan filsafat dapat kita ketahui bahwa pada
mulanya filsafat bersifat kosmosentris, dilanjutkan dengan teosentris dan
antroposentris, kemudian mulai pada abad ke 20 kajian filsafat berpusat pada
masalah bahasa yang diberi istilah dengan logosentris. Mereka memandang bahasa
sebagai objek terpenting dari pemikiran mereka.[5]
Dari perbedaan metode filsafat
yang ada sampai perbedaan pandangan mereka tentang bahasa, terdapat tiga sebab
pokok yang dapat menimbulkan masalah arti dari sebuah pernyataan. Sebab-sebab
itu di antaranya:
1)
Kerancuan bahasa filsafat
Filsafat itu berbicara tentang
realitas melalui pernyataan-pernyataan filsafat yang diungkapkan melalui
bahasa. Realitas tidak dapat dinilai benar atau salahnya, karena realitas itu
‘ada sebagaimana adanya’. Bahasa sebagai alat atau sarana untuk menyampaikan
realitas itulah yang sangat mungkin untuk dinilai benar atau salahnya.
Sebagaimana sifat bahasa yang fleksibel dan mudah berubah itu dapat
dimanipulasi oleh penggunanya.[6]
Sejarah telah mengajarkan kepada
kita, bahwa kelnturan dan kelembutan bahasa ini telah disalahgunakan oleh para
filosuf pada masa sokrates yakni, kaum sofis. Pada masa itu berfilsafat
bersifat jumbuh (identik) dengan silat lidah. . Dalam perkembangan selanjutnya,
Aristoteles menyusun logika sebagai cara berfikir yang dikaitkan dengan bahasa
dan filsafat. Logika ini dapat menjadi tolak ukur keabsahan suatu pernyataan.
Akan tetapi ada beberapa filsuf yang melalaikan penggunaan logika dalam
mengungkapkan pernyataannya sehingga menimbulkan kerancuan dan ambiguitas dalam
bahasa yang mereka gunakan.[7]
Sinyalemen Russel dan
Wittgenstein tentang kerancuan bahasa filsafat, yang disebabkan oleh
ketidakperdulian atau ketidakpahaman para filsuf terdahulu terhadap logika
sebagai aturan berfikir, yang seyogiyanya dikaitkan dengan bahasa yang
merupakan alat untuk mengungkapkan pemikiran mereka-disambut hangat oleh
sekelompok ahli pikir,yang beerada dibawah naungan panji positifisme logik.[8]
Bagi penganut positisme logik,
suatu pernyataan dapat dikatakan bermakna (meaningful) sejauh dapat
diklasifikasikan ke dalam dua macam proposisi yaitu, proporsisi formal dan
proposisi empiris.[9]
2)
Sumber perhatian para filsuf
terhadap bahasa[10]
a.
Metafisika
Metafisika menurut Alston adalah
suatu bagian filsafat yang secara garis besar mencoba merumuskan fakta-fakta
yang paling umum dan luas tentang dunia, termasuk penyebutan kategori-kategori
yang paling dasar di mana entitas dan beberapa penggambaran interrelasi di
antara mereka juga diajukan. Adanya pro dan kontra dalam bidang ini menimbulkan
permasalahan bahasa filsafat yang paling mendasar. Menurut Russell yang pro
dengan metafisika, dengan teori atomisme logisnya berpendapat bahwa ada
kesepadanan antara unsur bahasa dan unsur kenyataan. Bagi kaum positivisme
logis, yang kontra terhadap metafisika, mereka menganggap bahwa ungkapan-ungkapan
metafisik itu tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk dikatakan kalimat
yang benar-benar mengandung makna secara harfiah.
b. Logika
merupakan alat atau sarana utama dalam
berfikir dan berfilsafat. Menurut Alston logika adalah suatu studi penyimpulan
atau suatu usaha untuk merumuskan kriteria yang tepat guna memisahkan
kesimpulan yang sah dan tidak sah. Suatu kesimpulan dikatakan sah apabila
susunan pangkal pikirnya—terdiri dari premis mayor dan premis minor—juga betul.
c.
Epistemologi
Epistemologi
adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal usul, struktur, metode, dan keabsahan
ilmu pengetahuan. Kaitannya dengan persoalan bahasa adalah dengan adanya dua
macam pengetahuan, yakni pengetahuan apriori (yang didasarkan pada
dugaan tanpa/sebelum pengalaman) dan aposteriori (yang dilandasi
pengalaman). Hal ini terlihat ketika kita menyimpulkan 10 x 10 = 100
menunjukkan bahasa setiap unsur dari term-term tersebut memiliki makna yang
sudah pasti (apriori). Berbeda dengan ungkapan makna yang terkandung dalam
pengetahuan aposteriori yang didasarkan pada pengalaman yang berbeda-beda.
3)
Bahasa Ideal Bagi Filsafat
Di
samping mencari faktor penyeab timbulnya kerancuan bahasa dalam filsafat, para
filsuf berupaya untuk menemukan suatu bahasa ideal dan tepat untuk menyampaikan
maksud-maksud filsafat. Bahasa ideal ini bercirikan bahasa yang terlepas dari
kekaburan, ambiguitas, dan bentuk penyimpangan bahasa lainnya. akan tetapi
dalam upaya ini, para filsuf pun terbagi menjadi dua kelompok.Pertama, yang
dipelopori oleh Wittgensenstein mereka yang beranggapan bahwa bahasa biasa
(ordinary language) atau bahasa yang digunakan sehari-hari itu lebih mudah
dipahami oleh setiap orang dan dapat dijadikan bahasa ideal bagi filsafat. Ia
menitikberatkan perhatiannya pada hubungan antara pikiran, proposisi dan
bahasa. Menurut Ryle, bahasa biasa sudah memiliki aturan-aturan tersendiri yang
disepakati bersama oleh masyarakat. Kedua, yang dipelopori
oleh Russell, mengungkapkan sebaliknya, bahwa kesaahan itu timbul dari
kenyataan bahwa bahasa biasa itu tidak cukup memadai bagi maksud-maksud
filsafat. Ia menegaskan bahwa studi mengenai tata bahasa akan mampu menjelaskan
secara lebih terang persoalan-persoalan filsafat daripada sesuatu yang biasa
dianggap benar oleh para filsuf.
Usaha
maksimal dari Wittgenstein untuk menentukan bahasa ideal bagi filsafat, yang
didasarkan atas prinsip logika ini menurut Russell merupakan suatu bahasa yang
benar-benar logis. Bahasa yang logis ini mengandung aturan sintaksis untuk
mencegah ungkapan-ungkapan yang tidak bermakna juga mempunyai simbol-simbol
tunggal yang selalu mengandung suatu makna yang unit dan terbatas.
III.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa bahasa adalah serangkaian bunyi dan lambang yang bersifat
arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat unuk bekerja,
berinteraksi dan mengidentifakasi diri.
Kemudian
ada tiga sebab utama yang melatarbelakangi timbulnya masalah arti. Yaitu:
1.
Kerancuan bahasa filsafat
2.
Sumber perhatian filsuf terhadap bahasa : metafisika, logika dan epistimologi
3.
Bahasa ideal bagi filsafat
Ketiga sebab di atas itu semuanya
bersumber kepada pandangan para filsuf terhadap bahasa itu sendiri dan sifat
bahasa yang sangat lentur dan fleksibel, sehingga tidak setiap pemikiran yang
sama dapat diungkapkan melalui bentuk bahasa yang sama. Historitas dan
pertentangan arti ungkapan bahasa sebagai medium pemikiran perasaan para
filosof.
Daftar Pustaka
Hidayat Ahmad Asep, Filsafat
Bahasa: Mengungkap Hakekat Bahasa, Makna Dan Tanda, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006
Khoyin
Muhammad, Filsafat Bahasa, Bandung: Pustaka Setia 2013.
Mustansir Rizal,
Filsafat Bahasa Aneka Masalah Arti Dan Pemecahanya, Jakarta: Pt Prima Karya
1998
Http://Hanifailayya.Wordpress.Com
Akses 3 Januari 2014
[1] Muhammad
Khoyin, Filsafat Bahasa, Bandung: Pustaka Setia 2013. Hlm. 24.
[2] Asep Ahmad
Hidayat, filsafat bahasa: mengungkap hakekat bahasa, makna dan tanda, Bandung:
Remaja Rosda karya, 2006, Hlm. 21.
[3]Muhammad
khoyin, Filsafat bahasa...Hlm.
25.
[4]
Rizal mustansir, filsafat bahasa aneka masalah arti dan pemecahanya,
(jakarta: PT Prima Karya 1998), Hlm. 56-57
[5]
http://hanifailayya.wordpress.com
akses 3 Januari 2014
[6]
Rizal mustansir, filsafat bahasa aneka masalah arti dan pemecahanya, (jakarta:
PT Prima Karya 1998), Hlm.59
[7]
Ibid...hlm 59-60
[8]
Ibid...hlm. 64.
[9]
Ibid...hlm. 65.
Komentar
Posting Komentar