SEJARAH PENDIDIKAN BAHASA ARAB DI MELAYU
SEJARAH PENDIDIKAN BAHASA ARAB DI MELAYU
BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara
tentang bahasa Arab dalam konteks sejarah tidak bisa lepas dari perjalanan
penyebaran agama Islam.Begitu pula sebaliknya, mengkaji tentang Islam berarti
pula mempelajari bahasa Arab sebagai syarat wajib untuk menguasai isi kandungan
al-Qur'an dan al-Hadis sebagai
sumber utama agama Islam.
Sejarah
mencatat bahwa bahasa Arab mulai menyebar ke luar jazirah Arabia sejak abad abad ke-7 M.
Penyebaran itu meliputi wilayah Byzantium di utara, Persia di timur, dan Afrika
sampai Andalusia di barat. Hingga pada masa khilafah Islamiyah, bahasa Arab
menjadi bahasa resmi yang dipergunakan untuk sosialisasi agama, budaya,
administrasi, dan ilmu pengetahuan.
Sampai saat ini bahasa Indonesia
(termasuk Melayu) menyerap sangat banyak bahasa Arab ke dalam
perbendaharaannya. Begitu banyak kata yang sumbernya dari bahasa Arab, bahkan
bisa dikatakan bahwa unsur serapan dari bahasa arab termasuk paling dominan
dalam bahasa Indonesia. Sejarah perkembangan bahasa Melayu pada jaman sebelum
kemerdekaan misalnya dapat dijadikan contoh.Awalnya, bahasa Melayu hanya
dikuasai oleh kelompok masyarakat Melayu sendiri. Oleh
karena bahasa Melayu digunakan terus-menerus oleh mereka dalam kegiatan
perdagangan pada waktu itu, maka secara perlahan-lahan orang-orang yang turut
terlibat dalam kegiatan itu dapat memahami dan akhirnya menguasai bahasa
Malayu. Bahasa Melayu kemudian tidak
hanya menjadi milik etnis Melayu, tetapi hampir seluruh nusantara telah
menguasainya.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Singkat Tentang Suku Melayu
Suku
Melayu adalah nama yang menunjuk pada suatu kelompok yang ciri utamanya adalah
penuturan bahasa Melayu. Suku Melayu bermukim di sebagian besar Malaysia,
pesisir timur Sumatera, sekeliling pesisir Kalimantan, Thailand selatan, serta
pulau-pulau kecil yang terbentang sepanjang selat Malaka. Di Indonesia, jumlah
suku Melayu sekitar 15% dari seluruh
populasi, yang sebagian besar mendiami propinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan
Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung
dan Kalimantan Barat.
Meskipun
begitu, banyak pula masyarakat Minangkabau, Mandailing, dan Dayak yang
berpindah ke wilayah pesisir timur Sumatra dan pantai barat Kalimantan, mengaku
sebagai orang Melayu.Selain di Nusantara, suku Melayu juga terdapat di Sri
Lanka, Kepulauan Cocos (Keeling) (Cocos Malays), dan Afrika Selatan (Cape
Malays).
Pada awalnya nama melayu berawal dari kerajaan Malayu yg pernah ada di kawasan sungai batang hari.
Pada awalnya nama melayu berawal dari kerajaan Malayu yg pernah ada di kawasan sungai batang hari.
Dalam
perkembangannya, Kerajaan Melayu akhirnya takluk dan menjadi bawahan Kerajaan
Sriwijaya Pemakaian istilah Melayu-pun meluas hingga ke luar Sumatera,
mengikuti teritorial imperium Sriwijaya yang berkembang hingga ke Jawa,
Kalimantan, dan Semenanjung Malaya. Jadi orang Melayu Semenanjung berasal dari Sumatera.Berdasarkan
prasasti Keping Tembaga Laguna, pedagang Melayu telah berdagang ke seluruh
wilayah Asia Tenggara, juga turut serta membawa adat budaya dan Bahasa Melayu
pada kawasan tersebut.Bahasa Melayu akhirnya menjadi lingua franca menggantikan bahasa Sanskerta.
Era
kejayaan Sriwijaya merupakan masa emas bagi peradaban Melayu, termasuk pada
masa wangsa Sailendra di Jawa, kemudian dilanjutkan oleh kerajaan Dharmasraya
sampai pada abad ke-14, dan terus berkembang pada masa kesultanan Malaka
sebelum kerajaan ini ditaklukan oleh kekuatan tentara Portugis pada tahun 1511
Masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-12, diserap baik-baik oleh masyarakat Melayu. Islamisasi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat jelata, namun telah menjadi corak pemerintahan kerajaan-kerajaan Melayu.
Masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-12, diserap baik-baik oleh masyarakat Melayu. Islamisasi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat jelata, namun telah menjadi corak pemerintahan kerajaan-kerajaan Melayu.
Di
antara kerajaan-kerajaan tersebut ialah Kesultanan Johor, Kesultanan Perak,
Kesultanan Pahang, Kesultanan Brunei, dan Kesultanan Siak.Kedatangan kolonialis
Eropa telah menyebabkan terdiasporanya orang-orang Melayu ke seluruh Nusantara,
Sri Lanka dan Afrika Selatan. Dalam perkembangan selanjutnya, hampir seluruh
Kepulauan Nusantara mendapatkan pengaruh langsung dari suku Melayu. Bahasa
Melayu yang telah berkembang dan dipakai oleh banyak masyarakat Nusantara,
akhirnya dipilih menjadi bahasa nasional Indonesia, Malaysia, dan Brunei
Darussalam.[2]
B.
Sejarah Pengaruh Bahasa Arab Di Melayu
Masa sejak awal abad ke-13 sampai pengujung abad ke-15 Masehi dalam
kasusastraan melayu disebut masa peralihan, yaitu masa peralihan peradaban Hindu
ke peradaban Islam, orang melayu mulai mengenal tradisi tulis. Sebelumnya
mereka hanya mengenal tradisi lisan dalam kesusastraan.
Pada dekade akhir
abad ke-13 Masehi, pengaruh bahasa Sansekerta berangsur surut di bumi melayu. Pengaruh
tersebut mengalami masa surut semenjak meredupnya pengaruh Sriwijaya
di pulau Sumatera. Lambat laun pengaruh sansekerta kian lemah sampai akhirnya
kalah oleh pengaruh bahasa Arab, yang mulai
merebak pada awal-awal abad ke-14 Masehi.
Masuknya agama Islam
ke bumi melayu pada abad 13 Masehi membuka jalan bagi masuknya pengaruh bahasa Arab
kedalam bahasa Melayu. Menurut Collins, pengaruh bahasa Arab ini mulai terasa
diserabnya unsur-unsur leksikal dari bahasa Arab kedalam bahasa Melayu masih
berasal dari abad ke-13 Masehi ini.
Abad ke-14 Masehi
merupakan pergulatan bagi dua perdaban besar yang hadir di bumi Melayu.
Pengaruh Islam mulai menyusup dan membawa serta bahasa Arab, pada waktu itu
pengaruh Hindu masih bisa bertahan selama hampir satu setengah abad kemudian.
Sayangnya, tidak banyak bukti baik prasasti maupun manuskrip yang menyatakan
tentang keadaan kebahasaan sansekerta pada masa pergulatan ini sehingga
pengaruh bahasa sansekerta kian hari kian melemah.
Meskipun demikian,
masa ini disebut masa peralihan. Sebab, pada abad ke-15 Masehi, kerajaan melayu
di Malaka telah masuk Islam. Dalam perkembanganya, kerajaan melayu ini berperan
sebagai pusat penyebaran islam. Selain kerajaan Malaka, kerajaan Pasai diAceh
juga masuk Islam, sehingga kedua kerajaan ini bahu membahu menyebarkan Islam keseluruh
nusantara.
Demikian sejarah telah membawa
literasi Arab ke bumi Melayu yang melahirkan tulisan Jawi (Arab-melayu atau
Arab Pegon). Pengaruh bahasa Arab terhadap
bahasa Melayu belangsung secara bertahap, awalnya pengaruh itu lemah tapi
seiring dengan menguatnya agama Islam lambat laun menjadi semakin kuat, hinga
menggeser dominasi bahasa sansekerta dan ahirya memarjinalisasi pengaruh dari
bahasa yang dibawa oleh peradaban Hindu itu.[3]Dulunya,
huruf Arab Melayu atau Jawi menjadi bahasa yang universal di Nusantara. Surat-surat
raja-raja Nusantara ditulis dalam huruf Arab Melayu (Jawi). Sebagian besar
karya sastra nusantara seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-raja Pasai dan
lainnya ditulis dalam huruf Jawi. Cap atau stempel kerajaan pun ditulis ke
dalam huruf Jawi. Mata uang di awal-awal penjajahan yang diterbitkan VOC pun
juga menggunakan huruf Jawi.
C.
Sistem Pendidikan di Melayu
Sistem
pendidikan tertua di tanah Melayu dinamakan Surau, istilah Surau ini hanya
berkembang di wilayah Melayu, seperti Minangkabau, Malaysia, Patani (Thailand),
Brunai Darussalam, Morro (Philipina), Singapura dan sebagainya. Pertumbuhan Surau
pada periode awal ( abad ke 17 M di Minangkabau) Fungsi Surau sekarang sudah
semangkin sempit, hanya sebagai tempat shalat, belajar mengaji dan mendengarkan
ceramah agama.
Pada
awalnya Surau merupakan tempat mengajar anak-anak dan para remaja untuk
memperoleh pengetahuan dasar keagamaan. Surau sebagai lembaga pendidikan Islam pertama
kali didirikan oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. (Samsul
Nizar,2005:71) Syekh Burhanuddin mendirikan Surau bukan hanya untuk tempat
shalat saja, tetapi juga untuk mengajarkan Al-Qur'an, Hadis, Tarikat Satariyah.
Syekh Burhanuddin terkenal dengan ilmunya yang dalam dan bijaksana dalam
menyampaikan agama kepada masyarakat. Syekh Burhanuddin memperioritaskan
pendidikan agama terhadap anak-anak, karena generasi ini dianggap berpotensi
untuk dikembangkan.
Selanjutnya
Surau semakin berkembang di Minangkabau. Di samping fungsinya sebagai tempat
beribadah (Shalat), tempat mengajarkan Al-Qur'an dan Hadis serta ilmu lainnya,
juga sebagai tempat musyawarah, tempat mengajarkan adat, sopan santun, ilmu
beladiri (silat Minang) dan juga sebagai tempat tidur bagi pemuda yang mulai
remaja dan bagi laki-laki tua yang sudah bercerai. Dalam perkembangan
selanjutnya Surau juga tempat singgah bagi para perantau.( Abuddin Nata,
2001:8; Christine Dobbin, 1992:142). Ini barangkali sudah merupakan aturan yang
berlaku di Minangkabau, karena di rumah orang tuanya tidak disiapkan kamar
untuk anak laki-laki remaja atau duda, maka mereka bermalam di Surau.Hal ini
secara alamiah menjadi sangat penting, karena dapat membentuk watak bagi
generasi muda Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun ketrampilan praktis.
Syekh
Burhanuddin mengembangkan ajaran Islam dengan metode keteladanan dengan secara
lemah lembut, persuasif, melalui pendekatan socio-cultural, tidak dengan
kekerasan.Hal ini Surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan.Disamping
dengan metode keteladanan dalam metode pembelajaranya Syech Burhanudin dalam
mengajar menggunakan metode sorogan, halaqoh, ceramah dan hafalan.
Surau sebagai
lembaga pendidikan Islam yang mengalami kemajuan ada dua jenjang pendidikan Surau
pada masa itu.
Untuk
mempelajari Al-Qur'an ada dua macam tingkatan.
a). Pendidikan Rendah
a). Pendidikan Rendah
Yaitu
pendidikan untuk memahami ejaan huruf al-Qur'an dan membaca al-Qur'an. Di
samping itu, juga dipelajari cara beruduk dan tata cara shalat yang dilakukan
dengan metode praktek dan menghafal, keimanan terutama sifat dua puluh dengan
metode menghafal melalui lagu, dan akhlak yang dilakukan dengan metode cerita
tentang Nabi dan orang-orang shaleh lainnya.
b). Pendidikan Atas
b). Pendidikan Atas
Yaitu
pendidikan membaca Al-Qur'an dengan lagu, Qasidah, bezanji, tajwid, dan kitab Parukunan.
Lama
pendidikan pada masing-masing jenjang tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa
bisa melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi apabila dia bisa menguasai
materi-materi yang diajarkan pada tingkat pertama dengan baik. Bahkan
adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan mempelajari Al-Qur'an sebanyak
dua atau tiga kali baru ia berhenti dari pengajian Al-Qur'an.
Setelah
menamatkan kedua jenis pendidikan di atas, kemudian siswa diperkenalkan ke
jenjang pendidikan selanjutnya, yaitu pengajian kitab. Materi pendidikan pada
jenjang ini meliputi: ilmu Sharaf dan Nahwu, ilmu Fiqih, ilmu Tafsir dan
ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab
dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan
maksudnya. Penekanan pengajaran pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan.
Agar siswa cepat hafal, maka metode mengajarnya dilakukan melalui cara
melafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pendidikan untuk
jenjang pendidikan ini biasanya dilakukan pada siang dan malam hari.( Samsul Nizar, 2005:73-74)
Referensi yang dipakai oleh para guru, pada mulanya mengacu pada kitab
tertentu. Setelah para ulama Minangkabau kembali dari Timur Tengah baru
berbagai referensi digunakan. Hal ini disebabkan karena pada tahap awal, susah
mendapatkan kitab-kitab Arab tersebut, baru setelah para ulama kembali dari
Timur Tengah mereka membawa kitab-kitab dari Arab, Mesir dan Sebagainya.[4]
D.
Peninggalan-Peninggalan Bangsa Melayu
1. Prasasti Trengganu
Sebuah prasasti
tertua yang menggunakan tulisan jawi
(Arab Melayu) ini bahkan berasal dari tahun 1303 Masehi. Prasasti Melayu awal
abad 13 ini disebut Prasasti trengganu. Kata-kata Arab di prasasti Trengganu cukup
Banyak. Bahkan prasasti yang ditemukan di Ulu Trengganu
(Malaysia). Tulisan
ini menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk Islam pada saat itu. Prasasti
ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah dan Arkeolog Islam di Malaysia
seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua menyimpulkan prasasti ini sebagai
yang tertua di Asia Tenggara.
2. Manuskrip
Yang
dimaksud manuskrip adalah tulisan tangan asli yang berumur minimal 50 tahun dan
punya arti penting bagi peradaban, sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.Di
Indonesia ada tiga jenis manuskrip Islam. Pertama, manuskrip
berbahasa dan tulisan Arab.Kedua, manuskrip Jawi yakni, naskah
yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu.Agar sesuai dengan aksen
Melayu diberi beberapa tambahan vonim. Ketiga, manuskrip Pegon
yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah
seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya.
Pada
abad 14, pada tahun 1310, ditemukan syair tentang keislaman yang ditulis dalam
bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh.pada massa Kekhalifahan
Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka..
Di Aceh, pada
abad 16–17 terdapat cukup banyak penulis manuskrip. Misalnya, Hamzah Fansuri,
yang dikenal sebagai tokoh sufi ternama pada masanya. Kemudian ada Syekh
Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu ‘Ali ibnu Hasanji ibnu
Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi.Ia dikenal sebagai ulama yang juga bertugas
menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh pada
kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Salah satu karyanya yang terkenal
berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan
sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di Kesultanan Aceh selama periode empat
orang ratu, juga banyak menulis naskah-naskah keislaman.Karya-karya mereka
tidak hanya berkembang di Aceh, tapi juga berkembang seluruh Sumatera,
Semenanjung Malaka sampai ke Thailand Selatan. Karya-karya mereka juga
mempengaruhi pemikiran dan awal peradaban Islam di Pulau Jawa, Sulawesi,
Kalimantan, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, Buton hingga Papua. Sehingga di
daerah itu juga terdapat peninggalan karya ulama Aceh ini. Perkembangan
selanjutnya, memunculkan karya keislaman di daerah lain seperti, Kitab Sabilal
Muhtadin karya Syekh al Banjari di Banjarmasin. Di Palembang juga ada. Di
Banten ada Syekh Al Bantani yang juga menulis banyak manuskrip. Semua manuskrip
ini menjadi rujukan umat dan penguasa saat itu.
Manuskrip
dengan huruf Jawi dan bahasa Melayu yang ada di Perpustakaan Nasional Jakarta
hanya sekitar 1.000 naskah.Yang lainnya, yang menggunakan huruf Arab atau
bahasa Arab jumlahnya lebih sedikit. Sementara di Belanda, manuskrip Islam asal
Indonesia yang ditulis dengan bahasa Jawi
mencapai lebih dari 5.000 naskah. Belum lagi manuskrip yang ditulis
dengan huruf Pegon atau huruf Arab Melayu dan bahasa Arab, jumlahnya jauh lebih
banyak. Mereka melakukan pengumpulan kemudian diangkut ke Belanda dari seluruh
daerah di Indonesia. Seorang peneliti ke
Leiden tahun 2006 dan melihat karya asli Sunan Bonang, ar Raniri, Hikayat Aceh,
Hikayat Melayu, Babat Tana Jawi dan lainnya. Di Indonesia hanya ada kopiannya
saja.[6]
Kini
manuskrip-manuskrip karya ulama nusantara Sebagian besar berada di Belanda, tepatnya di Universitas Leiden. Pada
masa VOC dan penjajahan Belanda, mereka melakukan pengumpulan, kemudian
melakukan pencurian dan penjarahan terhadap manuskrip-manuskrip Islam klasik
untuk kepentingan mereka.Di antaranya, untuk melanggengkan penjajahan dan
menghilangkan jejak peradaban Islam dari sumbernya aslinya di Timur
Tengah.Dengan dirampasnya karya-karya para ulama, umat Islam di Nusantara
menjadi kehilangan sumber otentik perkembangan Islam.Inilah yang menyebabkan
penjajahan berlangsung hingga ratusan tahun.
3. Kitab Parukunan
Kitab parukunan
merupakan sebuak kitab yang populer di kalangan masyarakat melayu. Kitab
parukunan ini tidak hanya di pelajari tetapi menjadi rujukan utama dalam
melaksanakan ibadah sehari-hari. Salah satu kitab
perukunan yang terkenal adalah “ Perukunan Jamaluddin”. Kitab ini pertama
kali diterbitkan oleh Mathba‘ah al-Miriyah al-Kainah, Mekkah, pada tahun 1315
H/1897 M. Selanjutnya diterbitkan di Singapura pada tahun 1318 H. Setelah itu
diulang cetak di Bombay, Thailand, Indonesia dan Malaysia hingga
sekarang. Meski kitab ini tampak sederhana tetapi merupakan salah satu yang
paling popular di antara kitab-kitab sejenis, dan sering diulang cetak. Selain
di Indonesia, kitab ini juga dipelajari kaum muslim di Malaysia, Philipina,
Vietnam, Kamboja, dan Myammar.
Para peneliti berbeda pendapat mengenai
penyusun sebenarya bagi Kitab Perukunan. Terdapat dua nama yang biasa dikaitkan
dengan kitab Perukunan ini, yaitu Syaikhah Fatimah binti Syaikh Abdul Wahab
Bugis dan Syaikh Jamaluddin bin Syaikh Muhammad Arsyad.
Syaikhah
Fatimah merupakan cucu perempuan pertama
Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari melalui anak perempuan yang bernama
Syarifah, yang menikah dengan Syaikh Abdul Wahab Bugis. Syaikah Fatimah
menguasai berbagai ilmu-ilmu keislaman yang dipelajari dari ayah dan datuknya.
Beliau mahir dalam bidang ilmu bahasa Arab, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits,
Ushuluddin dan Fikih..Beliau kemudian bersama-sama dengan saudara seibunya
Muhammad As’ad dengan tekun dan gigih menyebarkan ilmu mereka kepada masyarakar
Banjar. Mereka berdua dikenali sebagai “bunga ilmu” tanah Banjar. Menurut
riwayat, jika Muhammad As’ad menjadi guru bagi kaum lelaki, maka Fatimah pula
menjadi seorang guru bagi kaum perempuan yang ingin belajar ilmu agama pada
zamannya.al-Banjari. Sedangkan Syaikh
Jamaluddin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang lahir pada tahun 1870M ini memang
seorang ulama yang paling terkemuka di Kalimantan Selatan pada zamannya. Dengan
“nama besarnya” itu adalah suatu yang dilihat wajar, jika Kitab Perukunan yang
sangat popular ini dianggap sebagai karya Syaikh Jamaluddin.
Selain pendapat di atas, terdapat keterangan lain yang menyatakan bahwa perukunan yang
dikenal ada dua yaitu Perukunan
Besar dan Perukunan Melayu ini merupakan
karya saudara perempuan Syaikh Jamaluddin, yang bernama Syarifah, yaitu ibu kepada
Syaikah Fatimah. Namun, sebagaimana yang ditegaskan oleh Prof Martin van
Bruinessen dalam tulisannya ‘Kitab kuning dan Perempuan, Perempuan dan Kitab
Kuning; “Pada umumnya tutur lisan masyarakat Banjar menyatakan bahwa
kitab “Perukunan Jamaluddin“ ini merupakan karya Syaikhah Fatimah, Cucu Syaikh
Arsyad al-Banjari dan anak saudara perempuan Syaikh Jamaluddin sendiri ”.
Mengapa Kitab
Perukunan yang popular itu diatasnamakan Jamaluddin jika pengarangnya Fatimah ?
Menurut Prof. Martin, identiti pengarang yang sebenarnya tampaknya dengan
sengaja disembunyikan sesuai dengan anggapan yang sudah mapan saat itu bahawa
menulis kitab adalah “pekerjaan” yang khusus untuk laki-laki. Lebih jauh,
demikian sambung guru besar studi Islam dari Belanda ini, kalau sejarah digali,
tidak mustahil kita akan menemui perempuan lain yang menguasai ilmu-ilmu agama
dan telah menulis kitab namun sumbangan mereka ternyata diingkari dan diboikot.[7]
4. Aksara
Jawi/Arab Melayu
Arab melayu adalah bahasa Indonesia atau
Melayu yang penulisannya di adaptasi dari aksara Arab yang disesuaikan
sesuai kaidah penulisan huruf Arab.Contoh Tulisan Arab Jawi/Melayu :
دكات دوري ديسا ڨواكـ
dekat Duri Desa Puak
سبله اوترا كوتا كنديس
sebelah utara Kota Kandis
بڽكـ اهلي برتمبه بوتكـ
banyak ahli bertambah botak
ميڠيڠت ميڽكـ سوداه هابيس
mengingat minyak sudah habis
Arab melayu berkembang di wilayah yang memiliki
budaya melayu, seperti di seluruh daerah di pulau Sumatra terutama yang dahulu
pernah berdiri kerajaan kerajaan Islam.Aksara ini dikenal sejak jaman Kerajaan
Samudera Pasai dan Kerajaan Malaka.[8]Masyarakat
Melayu merasa tulisan tersebut telah menjadi milik dan identitasnya. Awalnya
tulisan ini disampaikan melalui media dakwah dalam penyeberan agama Islam di
semenanjung Melayu.[9]
Kini
dengan adanya Visi
Riau 2020 yang menjadikan Riau sebagai pusat
kebudayaan Melayu di Asia Tenggara, sebagian besar masyarakat kembali
mempelajari dan melestarikan tulisan Arab Melayu (Jawi).Hampir sebagian besar
nama-nama jalan di Riau dan kabupaten/kota ditulis dengan huruf Arab Melayu.[10]
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari berbagai keterangan yang telah
di uraikan di atas ada beberapa kesimpulan yang bisa di ambil.
a.
Tanah
melayu meliputi beberapa daerah di Asia Tenggara
yaitu Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand. Di
Indonesia, jumlah suku Melayu sekitar 15% dari seluruh populasi, yang sebagian
besar mendiami propinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera
Selatan, Bangka Belitung di Kalimantan
Barat
b.
Proses
masuknyabahasaArab di Melayu melalui beberapa tahap,yaitu mulai Abad 13-15 Masa
perahlihan agama Hindu ke Islam.
c.
Pada
abad 15 penggunaan bahasa Arab berkembang pesat setelah kerajaan Malaka/
Samudera pasai masuk islam. Pada masa ini surat menyurat dan stempel telah menggunakan
tulisan Arab melayu. Bahkan mata uang pada zaman VOC juga menggunakan bahasa Arab
melayu.
d.
Sistem
pendidikan di Melayu pada zaman dulu menggunakan sistem Surau, di indonesia
pertama kali berada di Pariaman yang didirikan oleh Syech Burhanudin. Pelajaran
yang diajarkan adalah al-Qur’an dengan lagu, al-hadis, tata
cara shalat, akhlaq, berzanji, kitab parukunan, nahwu, shorof, ilmu tafsir dan
thariqah shathariyah.
e.
Setelah
ulama-ulama kembali dari timur tengah materi pelajaran di Surau mulai
menggunakan kitab berbahasa Arab karya ulama mesir dan ulama timur tengah
lainya.
f.
Ada
beberapa peninggalan dari bangsa melayu yaitu prasasti trengganu, manuskrip-manuskrip
dan kitab Parukunan yang sampai sekarang masih di ajarkan.
B.
PENUTUP
Sekian makalah
ini, apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun pemilihan bahasa,ri kritik dan saran sangat diharapkan untuk
perbaikan selanjutnya. Terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar